Saturday, October 31, 2009

Break Down Your Comfort zone!!!


-naskah ini di muat di majalah sinode GITJ edisi I-

A. Look down their comfort zone.
Kebanyakan setiap kita merasakan aman dan nyaman ketika semua berjalan dengan mulus atau lancar, dan memang sudah bisa di pastikan manusia lebih suka tinggal di daerah aman yang di milikinya (the comfort zone). Namun apakah zona aman kita akan terus menjadi tembok penghalang ketika kita ingin maju?. Salah satu puisi yang berjudul “The past is the prolog” karya Wiliam Shakespears mengatakan:

“……. I believe that history is not equal to the future but it could be, if we don’t change and we don’t move from our comfort zone and start contributing the goodness….”

Dari penggalan puisi diatas, Shakspears berani mengatakan bahwa sudah di pastikan ketika orang menikmati zone aman secara terus menerus maka sejarah dan masa depannya akan sama. Satu hal yang dapat di lakukan untuk mengubah hidup adalah dengan berani keluar dari zona aman pribadi kita. Zona aman yang manjadikan kita manja dalam mengarungi hidup ini.
Sebagai sekilas pandang, di beberapa Gereja di Eropa mengalamami suatu stuck pada perkembangan imam umat Kristen. Bahkan ada beberapa Gereja yang di jadikan Musium karena mengalami kemunduran dalam jemaat, dan secara sekilas salah satu alasan ini terjadi adalah karena zona aman di rasa membosankan, orang lebih suka hal yang menantang tidak hanya monoton saja. Hal serupa juga terjadi di beberapa tempat yang sudah merasa nyaman dengan kehidupan mereka dan mengalami kebisanan dalam hidup. Maka dari itu kalau kita ingin merubah hidup kenapa tidak mencoba keluar dari zona aman kita?.

Dari cerita Alkitab, sudah terang-terangan mengatakan bahwa Yesus berani mengambil resiko keluar dari zona aman –Nya untuk datang ke dunia. Coba bayang kan sedainya Yesus tidak mau meninggal kan tahta kudus Nya di surga, maka sudah di pastikan kita tidak akan mengenal yang namanya Yesus. Namun satu terobosan besar dilakukanNya, Ia berani mengambil keputusan untuk keluar dari zona aman yang Ia miliki untuk terjun langsung ke dalam dunia dan pada akhiranya karya agung di lakukanNya, Penyaliban. Sebuah keputusan tragis dengan penuh pertimbangan dan keyakinan pengorbananNya itu akan menjadikan lebih baik bagi umat manusia, dan itu memang sudah terbukti. Melalui pengorbananNya umat manusia di selamatkan dan mengenang akan Sang Penebus itu.
B. That is your comfort zone?

Dalam kehidupan pribadi kita, kita pasti memiliki zona aman pribadi dimana kita merasa nyaman dan aman. Kenyaman yang mungkin akan membuat kita lengah dan terlena akan keadaan sekitar kita. Kebanyakan orang ketika sudah merasa nyaman maka ia akan mempertahakan rasa nyaman nya itu dan tidak melihat keadaan sekitar kita.
Beberapa waktu yang lalu saya pernah berbincang-bincang dengan seorang Hamba Tuhan mengenai pelayana misi, dan tidak sengaja yang menjadi alasan orang memilih menolak untuk ikut adalah karena sudah merasa nyaman dengan posisi, Kenyamanan, kekayaan dan kedudukan yang di peroleh. Secara singkat saya berfikir itu adalah ke-egoisan seseorang karena tidak berani ke luar dari zona aman yang ia rasa. Tidak salah memang ketika orang lebih suka menikmati ke-nyamanannya di banding harus keluar dan menderita hanya untuk menceritakan yang namanya Yesus di dearah pedalaman atau kepada meraka yang belum mengenal Yesus. Namun ketika kita melihat salah satu bagian dari Alkitab, khususnya Matius 28:19-20, jelas mengatakan

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah keperintahkan kepada mu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Dalam bagian ayat ini secara gamblang Allah mengehendaki para muridNya untuk berani “pergi” dari tempat asalnya, tempat asal yang menjadi zona aman bagi mereka mereka. Demikan juga kita, sudah beranikah kita keluar dari zona aman yang kita agungkan selama ini untuk mengabarkan Injil Yesus?.

C. PELITA, Try to confront you to beat your Comfort zone.

PELITA (Present Evangelism Living Out Agape) adalah satu program dari Sinode GITJ bagi para pemuda yang ingin belajar melayani baik di dalam Gereja maupun di dalam bidang social. Oraganisasi yang menjadikan landasan kebersamaan ini mengarah kepada Pemuridan bagi kaum muda, membekali dengan pelayanan.

Berdiri di tahun 2005, yang merupakan tonggak sejarah di mulai nya babak baru di Sinode GITJ dalam hal pemuridan. Tahun pertama yang dengan yakin mengambil pelayanan di beberapa Gereja di Sumatra memperoleh sambutan yang luar biasa dari pemuda di sana. Dilanjutakan di tahun kedua mengambil pelayanan di Gereja-gereja Lokal dan membantu korban bencana gempa bumi di Jogjakarta. Di ikuti tahun ketiga PELITA bekerja sama dengan Organisasi The Frontiers untuk pelayanan perdamaian di Timor Leste dan Aceh. Bentuk-bentuk program yang secara jelas mengajak kaum muda untuk berani keluar dari zona aman yang mereka miliki dan belajar melihat saudara-saudara yang membutuhkan.
Ada benarnya memang apa yang di katakan Henri J. M. Nouwen dalam bukunya Gracias

“Pelayanan adalah ungkapan kehadiran Kristus di dalam dunia dalam pribadi kita”.

Dalam hal ini lah kita ditantang apakah kita berani untuk melayani meskipun itu keluar dari zona aman kita?. Pada bagian lain dari buku yang sama di katakan bahwa:

“…Oleh karena itu, saya berfikir bahwa bagi mereka yang di cabut dari lingkungan mereka yang aman dan di bawa masuk ke negeri asing di mana mereka merasa seperti bayi, Tuhan menawarkan kesempatan istimewa tidak hanya untuk pertobatan pribadi tetapi juga pelayanan yang sejati.”

Sekilas mungkin dapat di katakan, bahwa ketika kita berani keluar dari zona aman kita dan melangkah keluar untuk pelayanan maka Allah akan memberikan janjiNya kepada kita. Saya yakini dalam benak kita pasti terbesit ketakutan, Ketakukan akan tempat tinggal, ketakukan masa depan, kehidupan dan mungkin lebih parah lagi Nyawa. Saya pernah berfikir seperti ini sebelum saya terjun ambil pelayanan di Timor Leste selama satu tahun, namun semua itu menguap dengan penyertaan Tuhan di setiap langkah.
Saya yakini dalam lingkungan GITJ nama PELITA sudah tidak menjadi asing di telinga kita. Saya pernah bertemu dengan salah satu teman dan tidak sengaja kami berbicara mengenai PELITA. Saya masih begitu ingat dengan apa yang di katakannya.
“Kanggo opo tha..lungo adoh-adoh..engko dhak Gerejaku kosong” –buat apa sich.. pergi jauh-jauh ..nanti Gereja jadinya kosong-

Secara sepintas saya menyetujui akan pendapat teman saya ini, namun ketika saya berfikir “Bukankah lebih baik Gereja kita kosong namun kita melayani untuk mendapat kan jiwa baru untuk Tuhan dari pada duduk tenang dengan ke-EGOIS-an kita akan keslamatan.”

PELITA yang berani menantang setiap pemuda untuk keluar dari zona aman nya dan mengambil bagian dalam pelayanan adalah kesempatan untuk benar-benar belajar melayani dan melihat karya Tuhan di dalam hidup kita. Bukankah akan lebih bahagia ketika kita dapat menjadi pemain dari dapada hanya menjadi penonton saja. Mungkin dalam hati, kita merasa takut akan masa depan dan bagaimana tentang hidup, takut kalau Gereja kita akan kosong atau mungkin akan kehilangan nyawa sekalipun. namun yakinlah apa yang di katakan Yesus dalam Matius 28:20b “Dan ketahuilah Bahwa aku akan meyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”(FK)

PENDETA JUGA BUTUH RILEKS.....kali !!!!

“Maaf Pak Pendeta, bisa kah saya minta tolong untuk datang kerumah saya sekarang,” suara dari telephone itu terputus-putus dan gemetar.
“Iya buk, saya akan kesana sekarang.” Jawab seorang Pendeta yang segera bangun dari tempat tidurnya.
Tepat jam dinding menunjukan pukul satu tengah malam, udara di luar begitu dingin dan jalan beraspal begitu sepi tanpa suara roda yang berputar. Malam ini dengan penuh semangat pengabdian sang pendeta melangkah ke arah rumah yang berjarak kurang lebih 200 meter dari rumahnya. Dengan berjalan yang sedikit tergesa-gesa, sang pendeta memakai jaket kulitnya yang sudah lumayan usang. Di daerah ini, banyak orang yang memeluk agama Kristen dan membuat sang pendeta begitu gigih melayani jemaatnya yang terkasih.
Sesampainya di rumah yang dituju, Sang Pendeta menemukan seorang Ibu muda sedang duduk menangis di samping seorang anak yang terbaring karena sakit keras. Dengan penuh kasih sang pendeta duduk disamping sang anak dan mendoakan sang anak untuk kesembuhhanya.
Sebelum melanglah pulang malam itu, sang ibu menanyakan obat apa yang bisa membuat sang anak sembuh. dan sang pendeta hanya memberikan jawaban sesuai pengetahuannya,- BERDOA SAJA, ya bu!!!.
Ketika pagi menjelang, sang pendeta mendapat kabar bahwa salah satu pemuda gerejanya mengalami kecelakanan dan mengharapkan kedatanganya segera ke rumah sakit. Dengan penuh semangat sang pendeta pun mengambil sepeda motornya dan segera menuju rumah sakit. Belum hilang rasa capeknya karena pelayanan semalam, ia melangkah yakin ke rumah sakit itu. Sesampainya di rumah sakit sang Pendeta segera menemui sang pemuda dan melihat keadaanya, tidak lupa ia pun berdoa untuk kesembuhanya.
Setelah selsai mendoakan tiba-tiba handphone sang pendeta berdering. Dilayar hanphone itu tertulis

Bapak Ronal calling…..

Dengan segera sang pedeta menjawab telfonnya.
“ya… Pak Ronal, apa yang bisa saya Bantu..?” Tanya sang pendeta.
“begini pak… sekarang bisnis saya sedang mengalami kerugian bisakah saya sharing dengan bapak sekarang?” Tanya Pak Ronald.
“Ya.. boleh sekarang saya akan ke Geraja, bapak tunggu disana.” Kata sang pendeta.
Tugas di rumah sakit usai dan kini ia akan ke gereja untuk sharing dengan pak Ronald. Sepeda motor yang menemaninya kamana-mana siap melaju di jalan raya. Rasa capek belum juga hilang dari sekujur tubuhnya namun panggilan pelayan memanggilnya. Dan ia WAJIB melayani.
Sesampai di gedung Gereja sang pendeta mendapati bapak Ronal sudah duduk di ruang konseling. Dan setelah bertegr sapa, mulailah perbincangan tentang kerohanian melingkupi dan sampai akhirnya masuk dalam masalah bisnis.
Penuh kesadaran bahwa Pak Ronald menginginkan jwaban dan dukungan serta soludi untuk masalah bisnisnya, dan kini tugas seorang berpindah dari PELAYAN GEREJA menjadi PE-BISNIS, dari KEROHANIAN menjadi KEUNTUNGAN. Namun sayang sang jemaat tidak memahami akan hal itu, dan hanya menginginkan jwaban yang memuaskan.
Sore menjelang, tiba-tiba saja pintu rumahnya di ketuk seseorang. Dan tampak jelas ia sadalah salah satu jemaat di Gerejanya.
“Ya…. Bu, ada yang bisa saya bantu.” Tanya sang pendeta.
“Begini pak, sekarang ini saya ada masalah dengan suami saya……….” Sang ibu itu bercerita mengenai masalahnya sampi seakar-akarnya. Dan meminta sang pendeta untuk tidak menyebarkannya.
Kini tugas lain seoarng Pendeta adalah mendengar jeritan para warganya, dan menyimpanya sampai membusuk di telan waktu. Seakan menjadi tempat sampah bagi jemaat nya, sang pendeta tetap bersyukur.
Ini adalah salah satu contoh kesibukan seorang pendeta yang melayani Jemaatnya namun tidak mempunayi waktu untuk keluarga dan kehidupan pribadinya. Kita menaydri betapa beratnya menjadi seorang Pendeta,- harus menjadi panutan, menjadi penasehat, menjadi dokter, guru, bahkan pembantu-. Aku sendiri cukup terkejut ketika membayangkan pelayanan seperti itu. Jemaat hanya menuntut pelayanan yang memuaskan dari pendeta meraka dan tidak menghiraukan akan kesejahtraan sang Pendeta.
Kita tahu bahwa manusia memiliki kehidupan pribadi yang harus di penuhi, dan itu mungkin bagi seorang pendeta karena tntutan para Jemaat. Namun kadang kala ada juga yang mengatakan bahwa sang pendeta hanya malas-malasan melayani, ada pula yang menghujat akan pelayanannya, namun ada pula yang mengatakan PENDETA TIDAK BERMUTU, sungguh merupakan pukulan terhebat ketika kita berani mengatakan seperti itu.
Ada kisah lain dalam suatu gereja yang tdiak megijinkan pendetanya untuk mengikuti seminar atau acara-acara pengembangan diri, padahal kalo di pikir-pikir itu adalah hal yang membangun bagi sang pendeta. Namun saying dengan alas an “Gereja lebih membutuhkan” maka sang pendeta pun terkurung dalam Megahnya gedung gereja seperti ayam dalam kurungan.
Jadi sekarang yang menjadi pergumulan kita dalah “Apakah kita sebagai jemaat sudah memberi ruang bagi pendeta untuk mengembangkan diri? Atau malah mengikatnya erat dan tidak dilepasakan?. Yakinlah bahwa PENDETA pun butuh relaksasi, tidak selalu terkurung dalam sampah para jemaat.